Tadamichi Kuribayashi, Perwira Tinggi Jepang yang Terkenal Pada Perang Dunia II

Bookmark and Share
Tadamichi Kuribayashi (栗林忠道, 7 Juli 1891-23 Maret 1945) adalah seorang perwira tinggi Jepang dalam Perang Dunia II yang terkenal prestasinya dalam Pertempuran Iwo Jima. Tugas mempertahankan pulau kecil ini diberikan padanya oleh Jenderal Hideki Tojo. Dalam pertempuran ini dia memimpin kurang lebih 20.000 pasukan tanpa dukungan angkatan udara dan laut melawan 100.000 pasukan Amerika Serikat.
Hampir seluruh prajuritnya bertempur sampai titik darah penghabisan, hanya 296 dari mereka yang menyerah. Dia dilaporkan melakukan seppuku menjelang detik-detik terakhir kejatuhan pulau itu ke tangan musuh.

Kehidupan awal
Kuribayashi dilahirkan di perfektur Nagano dari keluarga samurai dan berdarah bangsawan. Dia adalah kepala keluarga yang baik, waktu-waktunya sebisa mungkin dia habiskan bersama keluarganya. Dalam perjalanan dinasnya, dia selalu melakukan komunikasi dengan mereka walaupun secara jarak jauh. Dia pernah mengenyam pendidikan di Kanada dan bertugas dua tahun sebagai deputi atase militer Jepang di Washington DC. Selama masa ini dia sering mengadakan perjalanan di berbagai daerah Amerika Serikat. Perjalanan ini membuatnya mengetahui lebih dalam tentang negara ini dan juga mendapat respek dari orang Amerika. Menurutnya perang modern akan banyak tergantung pada produksi industri, dia pernah mengemukakan pendapatnya ini pada rekan-rekannya bahwa perang dengan Amerika akan sia-sia karena mereka memiliki industri yang kuat, pendapat ini ditentang keras oleh sebagian kaum militer Jepang. Walaupun pandangannya cukup kontroversial, dia adalah salah satu dari sedikit perwira yang pernah mendapat kesempatan audisi dengan Kaisar Hirohito. Selain sebagai pemimpin militer, Kuribayashi juga adalah seorang yang berbakat sastra, karyanya antara lain syair Aikoku Koshin Kyoku (Lagu Cinta Tanah Air).


Pertempuran Iwo Jima
Kuribayashi sudah memperkirakan dua hal dalam menghadapi pertempuran yang menentukan ini yaitu Iwo Jima bagaimanapun akan jatuh juga ke tangan Amerika dan dirinya beserta seluruh pasukannya akan gugur. Namun dia tetap berusaha semaksimal mungkin mempertahankan pulau itu agar Amerika membayar semahal mungkin untuk upayanya.

Kuribayashi sudah mengenali pola penyerangan Amerika, karenanya dia tidak memfokuskan pada pendaratan mereka di pantai. Strateginya adalah menyuruh para insinyurnya untuk mendirikan benteng-benteng pertahanan bawah tanah. Di pulau kecil ini mereka menggali terowongan bawah tanah sepanjang 5000 meter yang saling berhubungan satu sama lain seperti jaring laba-laba.

Taktik ini terbukti keampuhannya. Selama delapan bulan pulau itu dibombardir Sekutu pulau itu, ditambah 72 hari sebelum pendaratan dibom berturut-turut oleh pesawat tempur, dan tiga hari sebelumnya oleh kapal perang mereka memuntahkan ribuan ton peluru pertahanan Kuribayashi tetap kokoh. Pesawat-pesawat pembom bingung menentukan target yang hendak dibom dan foto yang diambil pesawat intai tak ada gunanya karena taktik kamuflase Jepang yang hebat.

Kuribayashi juga pandai membangkitkan semangat anak buahnya, dia menginstruksikan agar setiap orang harus menganggap posisi pertahanannya sebagai kuburannya sendiri, bertempur sampai titik darah penghabisan dan membunuh musuh sebanyak mungkin, targetnya adalah setiap orang membunuh sepuluh musuh sebelum diri sendiri gugur. Dia mengendalikan pasukannya dengan tangan besi sehingga disiplin dan moril mereka baik sekali.


Hari-hari terakhir
16 Maret 1945 pertahanan secara teratur berakhir, tapi Kuribayashi masih hidup , dia hanya terputus kontak dengan sebagian anak buahnya. Mayor Horie yang pernah menjadi salah satu staff Kuribayashi menulis: Letjen Kuribayashi memimpin pertempuran di bawah sinar lilin tanpa istirahat dan tanpa tidur dari hari ke hari. Hubungan antara dia dengan dunia luar masih ada tanggal 15 Maret. Kami kira dia gugur pada tanggal 17 Maret. Dia dipromosikan sebagai jenderal penuh pada hari itu. Dia berkata, “Pertahanan musuh 200 atau 300 meter dari kami, mereka menyerang kami dengan api yang disemburkan dari tank. Mereka menyerukan agar kami menyerah tapi kami tertawa dan tidak menghiraukannya.” Kabar tentang promosinya ini disampaikan Horie melalui kawat, namun tidak diketahui apakah Kuribayashi menerimanya.

23 Maret 1945, kawatnya yang terakhir berbunyi, “Kami tidak makan maupun minum selama lima hari, tapi semangat Yamato, semangat bertempur kami masih tinggi, kami akan bertempur sampai saat terakhir” dan “Kepada perwira-perwira di Chichi Jima, selamat tinggal dari Iwo”. Dia dilaporkan melakukan seppuku di salah satu tempat di terowongan bawah tanah itu, namun jenazahnya tidak pernah ditemukan. Iwo Jima sendiri baru diduduki Amerika tanggal 26 Maret 1945 dengan harga 6.800 tewas dan 17.000 lainnya terluka. Sementara di pihak Jepang hanya 1.083 dari 22.000 orang yang selamat dan tertawan.


Penilaian pihak Sekutu
Amerika tidak bisa tidak merasa kagum pada kegigihan Kuribayashi mempertahankan Iwo Jima hingga titik darah terakhir.Rasa kagum ini telah dimulai sejak hari pertama pertempuran dan terus bertambah hingga berakhirnya pertempuran. Jenderal Holland Smith, komandan pasukan Amerika dalam pertempuran Iwo Jima berkata, “Dari semua lawan kita di Pasifik, Kuribayashi adalah yang paling tiada tanding.” Jenderal Cattes yang pernah secara pribadi menyerukan lewat corong pengeras suara agar Kuribayashi menyerah juga memuji pertahanannya yang luar biasa.

Amerika memang telah beberapa kali berhadapan dengan panglima Jepang yang pandai dan memukau mereka, tapi belum pernah pujian mereka begitu tinggi seperti terhadap Jenderal Kuribayashi. Kuribayashi adalah orang yang harus mereka takuti ketika masih hidup akan tetapi mungkin ia lebih berbahaya setelah meninggal karena ia sanggup menjadi pahlawan perang yang pasti dipuja-puja kalau saja nasionalisme baru tumbuh lagi di Jepang. Maka tidak heran kalau Jenderal Smith juga pernah berkata, “Semoga Jepang tidak pernah memiliki orang lain seperti dia.”



Kutipan
“Hidup ayahmu ibarat lampu di tengah angin” – kepada putranya, Taro Kuribayashi
“Engkau jangan berharap akan keselamatanku” – dalam surat kepada istrinya, Yoshie Kuribayashi
“Amerika Serikat adalah negara terakhir yang akan kita perangi”
“Musuh akan segera mendarat di pulau ini dan begitu mereka tiba kita akan mengikuti nasib mereka di Attu dan Saipan. Perwira dan prajurit kita tahu persis mengenai kematian. Maaf aku harus mengakhiri hidupku disini berperang dengan Amerika Serikat, tapi aku akan mempertahankan pulau ini sebisa mungkin dan menunda serangan udara musuh atas Tokyo. Ah ! Engkau telah lama menjadi istri yang baik bagiku dan ibu yang baik bagi ketiga anak kita. Hidupmu akan lebih sulit dan keras setelah ini, jaga kesehatanmu dan panjang umur. Masa depan anak-anak kita juga tidak lagi mudah, jaga mereka baik-baik setelah kematianku” – kepada istrinya tidak lama sebelum pertempuran dimulai.
“Pertempuran sedang mendekati akhir. Karena musuh sedang mendarat, bahkan dewa-dewa pun akan mencucurkan air mata akan keberanian para perwira dan prajurit di bawah komandoku. Orang-orangku gugur satu persatu, saya sangat menyesal telah membiarkan musuh menduduki wilayah Jepang kita” – pesan radio kepada wakil kepala staff Pasukan Kerajaan Jepang.
“Kami menyesal karena tidak dapat mempertahankan pulau ini dengan baik. Kini aku, Kuribayashi, yakin bahwa musuh akan menginvasi Jepang dari pulau ini. Saya sangat menyesal karena dapat membayangkan bencana yang akan menimpa kekaisaran kita. Namun, setidaknya aku dapat sedikit menghibur diri dengan menyaksikan para perwira dan prajuritku gugur tanpa rasa penyesalan dalam memperjuangkan setiap jengkal medan perang ini menghadapi musuh yang melebihi jumlah kita yang dilengkapi tank dan bombardir yang tak bisa dilukiskan….Saya juga meminta maaf pada seniorku dan rekan-rekan perwiraku atas kekuatanku yang tidak cukup untuk menghentikan invasi musuh”

{ 0 comments... Views All / Send Comment! }