Batik dan Kimono Menyatukan Indonesia dan Jepang

Bookmark and Share
Batik dan kimono kiranya sanggup menalikan Indonesia dan Jepang karena kedua kain itu merupakan kebanggaan sekaligus identitas masing-masing negara.

Karena pertalian itu pula, pameran bertajuk Indonesia-Jepang: Jalinan Dua Negara, Mengangkat Tradisi Warisan Leluhur digelar di Museum Tekstil, di Jalan Aipda K Sasuit Tubun, Jakarta, tanggal 7-13 Desember 2009.

Sejumlah koleksi batik dan kimono dipamerkan di ruang utama. Batik yang dipajang mulai kain panjang pagi-sore pekalongan, batik keraton, sampai aneka rancangan batik masa kini dari sejumlah desainer ternama Indonesia.

Batik yang dipajang sebagian sudah tua. Koleksi keraton yang ditampilkan ada yang diciptakan pada abad ke-17 atau pada masa Sultan Agung, seperti batik yang dikenal dengan nama Semen Huk. Batik motif semen yang juga bermotif non-geometris ini merupakan akulturasi budaya Jawa, Hindu, serta Islam.

Kain panjang pagi-sore pekalongan, misalnya, kerap dipakai ibu-ibu di pesisir pantai utara pada era penjajahan dulu. Kain dengan dua motif ini bisa dipakai untuk pagi dan sore hari dengan gambar yang berbeda. Motif ini menjadi solusi yang baik di tengah zaman yang sulit sekitar tahun 1940.

Jepang juga tidak kalah eksotik. Beragam koleksi kimono serta teknik pembuatan kain dipamerkan. Aneka kimono itu ada yang khusus digunakan untuk perempuan yang masih lajang dan ada yang dipakai saat pernikahan. Motif pada kimono membedakan peruntukan penggunaan kimono itu. Kimono dibuat dengan beragam teknik, seperti tenun, border, dan lukis.

Teknik pembuatan kain dari serat pisang juga sudah dikenal sekitar abad ke-13 di Okinawa dan sering disebut Basho-fu. Kain serat pisang ini digunakan untuk pelbagai kebutuhan, termasuk untuk sarung bantal.

Ada pula sekitar 70 potong kain tenunan seperti lurik yang dikenal dengan sebutan Shimagara. Teknik tenunan ini sudah berusia puluhan tahun.

Ada juga sebuah hiasan dinding di atas kain sutra berukuran 6,5 meter x 3 meter, dibuat dengan teknik semacam jumputan. Hiasan bertajuk Bunga Sakura di Malam Hari yang Diterangi Cahaya Obor itu menggambarkan dahan pohon sakura dilihat dari bawah pohon. Karya lain diberi judul Gozan, menggambarkan pegunungan dengan bulan di antaranya. Keduanya merupakan koleksi Kyoto Shibori Kougeikan.

Saling memperkaya

Guru besar Fakultas Ilmu Politik dan Ekonomi Kokushikan University Jepang, Masakatsu Tozu, mengatakan, pameran ini memperkaya khazanah tekstil di dunia. ”Silakan saja pengunjung belajar seluruh motif, teknik, dan gagasan dari batik atau kimono yang dipamerkan. Siapa tahu ada motif baru yang lahir dari percampuran batik dan kimono ini,” tutur Tozu.

Masyarakat Jepang, menurut Tozu, amat mengenal batik. Ia mengaku punya koleksi 3.500 potong kain batik, bahkan sudah terbiasa memakai batik dalam kesehariannya.

Percampuran batik terlihat pada obi—ikat pinggang untuk kimono. Sejumlah motif batik digoreskan pada obi. Karena itu, eksplorasi batik dan kimono masih terbuka lebar. Apalagi, batik telah dikukuhkan sebagai Warisan Budaya Dunia Non-Kebendaan oleh UNESCO, 2 Oktober silam. Pengukuhan ini, memperkuat pengakuan batik Indonesia di seantero sedunia.

Kepala Unit Pelaksana Teknis Museum Tekstil Indra Riawan mengakui, pelaksanaan pameran ini sebagai kelanjutan dari pengukuhan batik sebagai Warisan Budaya Dunia Non-Kebendaan. (Agnes Rita Sulistyawaty)

Kompas

{ 0 comments... Views All / Send Comment! }